Menjernihkan Kesalahpahaman tentang Imam al-Ghazali

Table of Contents

Menjernihkan Kesalahpahaman tentang Imam al-Ghazali
Ilustrasi: Ainul Yakin

Menjernihkan Kesalahpahaman tentang Imam al-Ghazali adalah esai pendek ditulis oleh Gus Maksum sebagai respons atas percakapan di warung kopi.

Rontal.id - Menyatakan pendapat tertulis untuk menanggapi ide dalam tulisan lain merupakan kebiasaan kaum intelektual. Ihwal ini sudah dicontohkan oleh Imam al-Ghazali, seperti dalam karyanya Tahafut al-Falasifah untuk menanggapi beberapa kerancuan filsafat barat. Selain menawarkan banyak manfaat, tukar pikiran seperti ini menjadi salah satu cara efektif untuk menjaga dan mengembangkan budaya literasi utamanya untuk saat ini yang dalam hemat saya kian kehilangan daya semangatnya.

Sekitar pekan lalu, seperti biasa saya beserta teman-teman menghabiskan banyak waktu di warung kopi, berbicara banyak hal tentang bagaimana literasi kembali mengakar di Dempo Barat pada khususnya, sekalipun pada kenyataannya tidaklah pernah tumbuh. Hingga akhirnya sampailah pada persoalan tokoh yang mempengaruhi mindset kita.

Mungkin nyaris semua orang memahami tokoh yang paling berpengaruh dalam hidup saya adalah Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Saat itu, saya ceritakan sosok imam Al-Ghazali. Beberapa hari kemudian, salah satu kawan berpikir saya, Bung Ujan, mengirimkan hasil jepretannya. Tampak di situ ia sedang membaca buku “Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan” karya Ahmet T. Kuru.

Pada halaman prakata ada statemen yang membuat saya anteng agar menuntaskan karya penulis Turki itu. Ahmet T. Kuru mengisahkan kekecewaan ayahnya setelah berdebat dengan salah satu jenderal Turki sekuler tentang isu ketertinggalan muslim. Negara-negara muslim hanya menjadi konsumen, sedangkan negara-negara protestan telah berkontribusi terhadap peradaban modern. 

Semakin dibaca buku itu semakin menarik hingga sampai pada pembahasan penyebab ketertinggalan negara-negara muslim. Yang membuat saya kaget, penulis menyebut salah satu tokoh yang dirasa paling bertanggung jawab atas kemunduran negara-negara muslim adalah Imam al-Ghazali. Iya, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi Al-Faqih Ash-Shufi, tokoh yang selama ini saya idolakan dan bahkan mengubah pola pikir saya dalam keseharian.

Imam al-Ghazali Tidak Anti Filsafat

Saya akan fokus pada pembahasan yang mengaitkan Imam al-Ghazali. Sedikit banyak data-data empiris sudah saya kantongi. Ada beberapa karya Imam al-Ghazali yang sudah saya tuntaskan. Salah satunya adalah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filsuf), Al-Munqidz Min ad-Dlalal, dan Ihya Ulumiddin. Mungkin ini penyebabnya kenapa saya tidak terdoktrin atas buku yang ditulis oleh Ahmet T. Kuru tentang imam Al-Ghazali.

Secara umum saya sepakat dengan buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan itu. Namun apabila hal itu disandarkan pada imam Al-Ghazali sebagai biang kerok ketertinggalan Muslim, maka di sini terbuka ruang dialog bagi saya di mana saya bisa menjadi orang paling depan untuk membantahnya (tentu saja sekali lagi membantah dengan data). 

Ahmet mengatakan: “Pada periode tertentu dalam sejarah Islam, para ulama dan penguasa bersekutu meminggirkan para intelektual”. Saya paham maksud dari pernyataan ini, pasti tertuju pada bentuk perlawanan imam Al-Ghazali terhadap para filsuf Yunani, Plato atau Aristoteles, yang termaktub dalam kitab Tahafut al-Falasifah. 

Imam Al-Ghazali adalah bagian dari kaum intelektual. Sebelum ia mengkritik para filsuf, pastinya sudah menuntaskan baca-baca karya para filsuf yang sudah mempengaruhi filsuf muslim.  Dalam muqaddimah kitab yang dikhususkan untuk mengkritik para filsuf itu, Imam Al-Ghazali menyatakan “Mengkritik sebelum memahami apa yang mau dikritik adalah suatu kemustahilan, bahkan bisa dikata itu adalah tuduhan dalam kebodohan dan kekeliruan.” 

Sangat jelas bahwa imam Al-Ghazali mengkritik atas dasar penelitian. Yang perlu digarisbawahi sebenarnya imam Al-Ghazali tidak anti filsafat, beliau hanya mencoba mengklasifikasikan filsafat sesuai dengan kaidah-kaidah asy’ariyah. 

Dua Contoh Kritik al-Ghazali

Apabila kita mencoba untuk mendalami karya-karya Imam Al-Ghazali, al-Munqidz Min ad-Dlalal khususnya, kita akan memahami bahwa ia hanya menentang filsafat ilahiyat, yang mana hal ini memang betul-betul rancu. Salah satu kerancuannya adalah pendapat Aristoteles dan para pengikutnya bahwa alam itu qadim

Dalam teori teologi yang dianut mayoritas umat Islam, yang qadim (tidak memiliki permulaan) hanya Tuhan semata. Segala sesuatu selain Tuhan, termasuk alam semesta, malaikat, dan mahluk ciptaan lainnya, adalah baru (memiliki permulaan). Imam al-Ghazali menyatakan, karena sifat tuhan adalah Zat yang Maha Esa, Maha Kuasa, dan Maha Pencipta. Apabila ada sesuatu yang qadim selain Tuhan, maka berarti ada zat lain yang setara Tuhan, yang bertentangan dengan sifat keesaan Tuhan. 

Jadi paham qadim ini berkesimpulan bahwa alam ada dengan sendirinya bukan karena ciptaan Tuhan. Padahal pada hakikatnya, alam ini ada karena diciptakan dengan sengaja dan terencana bukan ada karena suatu kebetulan dan alam ini tidak bersifat kekal sesuai dengan apa yang diucapkan Imam al-Ghazali

Kerancuan kedua para filsuf yang sudah dianut filsuf muslim adalah tentang Allah yang diyakini hanya mengetahui persoalan kulliyat dan tidak mengetahui persoalan juz-iyat. Secara logika pemahaman itu menganalogikan Allah layaknya (maaf) bapak Joko Widodo yang tidak tahu persoalan yang ada di pedesaan (lapangan). Padahal Allah mengetahui segala hal yang ada baik yang kulliyat maupun juz-iyat

Dalam Alquran surah al-Hujarat ayat 18 disebutkan: "Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." Secara tafsir tahlil ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah maha mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati. Maka dari itu sudah selayaknya para filsuf itu dibantah dalam rangka meluruskan aqidah.

Imam al-Ghazali Mencintai Mantiq

Atas dasar dua sampel yang dikritik oleh imam al-Ghazali itu, sudah jelas kiranya kritik buku “Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan” terhadap Imam al-Ghazali merupakan sesuatu yang berlebihan. Ia tidak pernah mematahkan semangat kaum intelektual apalagi sampai membunuh kreativitasnya.

Bukti lain bawa imam Al-Ghazali tidak pernah menyisihkan intelektual muslim adalah tentang penjelasan pentingnya belajar Ilmu Mantik (logika), hal ini bisa dipahami dari pernyataannya:

من لا يعرف له بالمنطق، لا وثوق بعلمه

Man laa ya’rifu lahu bil manthik, laa wutsuqo bi ilmihi.

“Barang siapa yang tidak memahami ilmu mantik maka ilmunya tidak bisa diandalkan (dipertanggung jawabkan)”.

Menurutnya mempelajari ilmu mantik dan menggunakannya untuk menganalisis argumen teologis dan filosofis dapat membantu dalam memahami kebenaran dan menghindari kesesatan.

Secara keseluruhan, Imam Al-Ghazali memiliki sikap yang moderat terhadap ilmu filsafat. Ia mengakui nilai beberapa cabang filsafat, namun juga mengkritik cabang-cabang yang menurutnya bertentangan dengan ajaran Islam.

Penting untuk dicatat bahwa pemikiran Al-Ghazali tentang filsafat kompleks dan telah diinterpretasikan dengan berbagai cara oleh para cendekiawan.


Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment