Harry, Keluarga dan Persahabatan

Table of Contents

 

Ilustrasi: Ainul Yakin

Harry, Keluarga dan Persahabatan ditulis oleh Deyna Mikaila Juba sebagai pembacaan atas novel seri pertama Harry Potter berjudul 'Harry Potter dan Batu Bertuah'. Fokusnya pada soal kesepian dan persahabatan dari tokoh-tokoh Harry, Hermione, Ron dan Neville.

Rontalin - “Tak ada gunanya memikirkan impian berlama-lama sampai lupa hidup, ingat itu.” 

Itulah peringatan Profesor Dumbledore kepada Harry Potter. Saat itu, penyihir muda itu tengah menatap cermin Tarsah. Pada cermin itu, muncul senyum seorang perempuan dan seorang lelaki berkacamata. Lamat-lamat ia memandang mereka. Hingga akhirnya seakan Harry menyadari sesuatu dan berseru pelan: Mom! Dad! Lalu disusul kemunculan keluarganya yang lain di cermin itu. Lengkaplah keluarga besar Harry.

Apakah itu sebuah gambaran masa lalu? Ataukah masa depan? Apakah cermin itu menampilkan sebuah kebenaran atau sekedar ilusi? Dumbledore yang masih duduk di situ hanya menggeleng. 

Tapi ia menyimpan jawaban lain. Cermin yang ada di Sekolah Sihir Hogwarts itu tak menampilkan masa lalu atau masa depan. Apa yang muncul pada cermin ajaib itu hanyalah hasrat terdalam Harry Potter. “Kau yang tidak pernah kenal keluargamu melihat mereka berdiri mengelilingimu,” demikian kata Dumbledore. Persisnya Harry kesepian. Dalam diri terdalamnya, ia merindukan kasih sayang keluarga. Sebuah kepingan hidup yang hilang, dan tak bisa digantikan oleh siapapun.

Melihat Harry nampaknya terjebak pada perasaan dan impian itu, maka Dumbledore segera menegaskan bahwa ‘tak ada gunanya memikirkan impian berlama-lama sampai lupa hidup’. 

Kesepian Membentuk Persahabatan?

Dalam novel seri pertama Harry Potter yang berjudul ‘Harry Potter dan Batu Bertuah’, terlepas dunia sihir yang menjadi topik utama ceritanya, aku justru tertarik dengan suasana kesepian, kesendirian, keterasingan, dan ketakberdayaan yang dialami beberapa tokoh di dalamnya. 

Harry Potter, tokoh utama. Ia sudah yatim piatu sejak kecil. Ia tidak kenal sama sekali dengan kedua orang tuanya. Keluarga Dursley mengubur sama sekali tentang masa lalu orang tuanya. Keluarga Dursley adalah keluarga terdekat Harry. Tepatnya Mrs. Dursley adalah saudara ibunya Harry. Keseluruhan jati diri Harry baru terungkap kemudian hari pada saat Hagrid, utusan dari Sekolah Sihir Hogwarts, datang untuk mempersiapkan sekolah sihirnya. Sejak itulah terungkap bahwa ayah dan ibunya adalah seorang penyihir hebat. Kematiannya bukan sebuah kecelakaan seperti diceritakan keluarga Dursley, melainkan dibunuh oleh Voldemort, seorang penyihir aliran hitam.

Tokoh lain: Ronald Weasley, Hermione Granger dan Neville. Ronald atau lebih akrab memendam perasaan minder di tengah kakak-kakaknya yang sukses. Selain itu, ia juga memendam perasaan betapa tidak enaknya menjadi seorang adik, lantaran barang yang dimilikinya saat ini bukan barang baru, melainkan bekas milik kakak-kakaknya. Perasaan itu diungkapkan saat berjumpa pertama kali dengan Harry.

Lalu Hermione Granger. Ia seorang perempuan pintar dan kutu buku. Namun justru di situ soalnya. Bagi anak-anak seusia Harry saat itu, Hermione dipandang terlalu serius belajar, terlalu menonjol di kelas, terlampau rajin, dan pengetahuannya jelas di atas yang lain. Apa yang terjadi? Berteman dengannya seakan mengerikan – atau mungkin tepatnya membosankan, alias Hermione tidak asik hidupnya. Ron pernah mengungkapkan itu, yang akhirnya membuat Hermione sedih dan menangis sejadi-jadinya. Terakhir, Neville. Sejak awal, ia begitu gugup, penakut, dan menjadi objek bully-an Malfoy. 

Boleh jadi – kesamaan-kesamaan perasaan itu – yang membuat mereka, melalui banyak momentum, akhirnya terikat dalam suatu persahabatan. 

Saling Mengisi dan Menguatkan

Persahabatan (mereka) itu saling mengisi dan menguatkan. Itulah yang terjadi akhirnya. Mula-mula Harry dan Ron. Keduanya terikat sejak awal, di mana mereka segera memiliki ‘chemical reaction’ atau ‘chemistry’, menjadi begitu asyik dan saling terbuka satu sama lain. Disusul Hermione Granger, yang dipicu aksi heroik Harry dan Ron menyelamatkannya dari terkaman Troll. Terakhir kehadiran Neville yang menemukan ‘perlindungan’ dari bully-an Malfoy dan kawan-kawannya.

Pada akhirnya persahabatan bukan hanya membuat mereka terhindar dari perasaan kesepian dan terasing, tapi justru membuat mereka menjadi kuat. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki masing-masing menjadi tertutupi oleh kolektivitas persahabatan mereka. Sirkel persahabatan itu seakan mengatakan: ‘lo ngga sendirian.’ Bagi Harry, berteman dengan mereka memberi kebahagiaan layaknya keluarga, sesuatu yang tidak diperoleh di keluarga Dursley yang galak. Hogwarts bukan hanya sekolah, tapi rumah baginya. Itu sebabnya, ia sering menghabiskan liburannya di asrama Hogwarts daripada pulang ke keluarga Dursley. 

Hermione Granger – dalam persahabatannya dengan Harry dan Ron – membuatnya tak lagi menjadikan dirinya sebagai sosok yang egoistis dalam pelajaran. Dengan kecepatannya memahami pelajaran dan ketekunannya membaca buku, Hermione menjadi sosok yang membantu untuk keberhasilan ‘study’ dari Harry dan Ron. Ia memperhatikan betul agar nilai-nilai pelajaran dari Harry dan Ron tidak jeblok. Sebab itu, ia sering mengajak mereka ke Perpustakaan, belajar bersama, dan membantu Harry dan Ron pelajaran-pelajaran yang tidak mereka pahami. Neville sendiri yang selalu tak berdaya dengan bully-an dari Malfoy perlahan berubah. Berkat dorongan dari Harry dan Ron, ia akhirnya berani menunjukkan bahwa dirinya sesungguhnya melawan. ‘Lu lebih berharga berkali-kali lipat ketimbang si Malfoy,’ begitulah kurang lebih nasehat dari Harry dan Ron kepada Neville.

Namun persahabatan, keterikatan satu sama lain, membuat mereka terjebak ke mana pikiran kelompok itu bergerak. Kadang-kadang mereka tergerak ke arah yang kontraproduktif dengan harapan sekolah sihir Hogwarts. Beberapa kali mereka terjebak pada tindakan kolektif yang merugikan mereka bahkan merugikan kelompok asramanya. Hermione – yang jujur – terikut berbohong. Terjebak pada petualangan ‘keingintahuan’ yang berisiko yang mengantarkannya pada rahasia tentang Batu Bertuah.

Keteledoran atau Kebijaksanaan Prof. Dumbledore?

Ide Prof. Dumbledore lah untuk menitipkan Harry Potter kepada keluarga ‘Muggle’, sebutan untuk manusia biasa, yakni mereka yang hidup jauh dari dunia sihir, tidak berhubungan dengan dunia sihir. Prof. Dumbledore – meski ditentang oleh Prof. McGonagall – mengungkapkan beberapa alasan. 

Pertama, hanya keluarga Dursley yang masih tersisa dari keluarga dekat Harry. Prof. Dumbledore juga berpikir bahwa keluarga ini nantinya yang bisa mengasuh dan menjelaskan pada saat Harry dewasa nanti. Kedua, ini bagian dari – dapat dikatakan eksperimen – dari Dumbledore agar anak ini (Harry) yang dipastikan menjadi orang terkenal nanti tak lekas menjadi sombong. Dia harus dididik dulu dan nanti dikenalkan secara perlahan kepada jati dirinya sebagai penyihir legenda.

Idealnya, Prof. Dumbledore benar. Keluarga Dursley – sebagai keluarga terdekat Harry – idealnya mencintai Harry, mengasuhnya dengan baik, memberinya kasih sayang yang tidak diperoleh dari ayah dan ibunya. Juga perlahan, seiring pertumbuhan usianya, keluarga Dursley bisa mengungkapkan kebenaran tentang diri Harry. Keluarga adalah sosialisasi paling efektif bagi tumbuh kembang seorang anak, baik secara fisik, kepribadian dan pengetahuan. 

Namun faktanya jauh dari yang ideal. Keluarga Dursley tak mendidik Harry dengan baik. Tak ada kasih sayang, kecuali hukuman demi hukuman setiap hari yang diperoleh Harry. Lebih fatal lagi, mereka tak menceritakan jati diri Harry, membohonginya tentang ayah dan ibunya. Alhasil, Harry tak tahu siapa dirinya. Nyaris dirinya ‘stuck’ menjadi ‘muggle’, yakni manusia yang jauh dari kehidupan sihir. Nyaris potensinya sebagai penyihir hebat, seorang legenda yang ditunggu-tunggu, hilang begitu saja.

Namun di sisi lain, dengan dididik keluarga Dursley yang muggle, ia tak lekas menyadari keistimewaan dirinya. Ini berarti apa yang diharapkan Prof. Dumbledore tercapai: dengan tidak mengetahui bahwa ia istimewa, maka potensi kesombongan yang bisa muncul sejak kecil dapat dicegah. Harry masuk ke sekolah sihir Hogwarts dengan pengetahuan sihir yang ‘nol’. Bahkan pada suatu kelas yang diampu Prof. Snape, sosok yang membencinya, Harry dipermalukan. Berkali-kali ia tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Prof. Snape yang diajukan kepadanya. ‘Ternyata terkenal saja nggak menjamin lho kualitasnya’, kira-kira itulah olok-olok Prof. Snape. Tumpahlah tertawaan kepadanya. Harry harus menerima itu. 


Post a Comment