Semesta Mendukung, Harga Tembakau Melambung!
Ilustrasi: Ainul Yakin |
Rontalin.com - Akhirnya, nicotiana tobacum alias tembakau kembali menjadi daun emas bagi para petani. Baru tahun kemarin, senyum bahagia merekah dari wajah para petani tembakau di Madura karena harga tembakau yang terangkat kembali. Tentu saja belum layak jika dibandingkan "harga psikologis" yang semestinya, tapi setidaknya harapan itu kembali muncul setelah "dipecundangi" murahnya harga selama sekian tahun terakhir ini.
Menurut saya, mahalnya harga tembakau tahun lalu itu karena peran dan perjuangan semua pihak, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, pemerintah, bahkan cuaca dan alam melalui "sempurnanya" musim kemarau. Semuanya terlibat, sesuai peran. Semesta mendukung, seperti sebuah orkestrasi untuk saling rojhung.
Jadi, tak perlu ada pihak-pihak tertentu yang kemudian ngaku-ngaku sebagai kelompok yang paling berjuang dan berjasa untuk kesejahteraan petani tembakau, lebih-lebih mereka bukan menjadi bagian dari yang membuat regulasi, terutama soal tata niaga pertembakauan. Memang ada peran, tapi jangan juga "diborong"!
Tak usah lebay, deh! Apalagi melakukan "simplifikasi" dengan kalimat-kalimat tak masuk akal seperti, "mun tak kèng polanah aroah, argenah rokok tak kèrah larang", "mun benni ollenah Aba Toan, Haji Anuh, Haji Anah, Haji Aneh, reng tanih tak kèrah bhejreh", "mun tak è bellih pabrik, dhinah è belliyeh kabbi bekonah rèng tanih bik Si Anuh, Si Anah, Si Aneh!". Heuheu.
Sudah, sudahi klaim-klaim seperti itu.
Faktanya? Tak akan mampu. Andai saja diperbolehkan untuk memonopoli pembelian tembakau oleh satu pihak saja, tak ada satu pun orang Madura yang mampu menyerap keseluruhan hasil produksi tembakau di Madura, baik pabrikan lokal atau pun perorangan. Tak ada! Kemampuan itu hanya dimiliki oleh negara dan pabrikan besar nasional atau para konglomerat saja.
Tak percaya?
Mari kita hitung-hitungan berdasarkan data dari Disperindag Pamekasan: "Secara terperinci, untuk serapan pabrikan perwakilan nasional mencapai 13,013 ton, terdiri dari 291.671 bal. Sedangkan untuk pembelian pabrik lokal dan pribadi, sebanyak 9.276 ton, terdiri dari 214.950 bal. Dengan begitu, total serapan yang mampu dibeli pabrikan sebanyak 22.289 ton." (Sumber : kabarmadura.id)
Adakah pengusaha atau pabrikan lokal yang bisa menyerap hasil produksi itu secara keseluruhan? Oke, harga tembakau tahun lalu berkisar antara Rp50.000/kg hingga Rp70.000/kg, ada sebagian yang lebih tinggi hingga menyentuh angka Rp80.000/kg. Anggap saja, kita ambil jalan tengah dengan rerata harga Rp60.000/kg. Mari kita jumlahkan:
22.289 ton = 22.289.000 kg x 60.000 = Rp1.337.340.000.000 alias satu triliun tiga ratus tiga puluh tujuh miliar tiga ratus empat puluh juta rupiah! Ada, gitu, orang Madura yang punya uang segitu? Oke, jika itu terlalu tinggi, kita breakdown per-jenis pabrikan: nasional dan lokal (dan pribadi).
Pabrikan nasional, 13.013 ton = 13.013.000 kg x 60.000 = Rp780.780.000.000 atau tujuh ratus delapan puluh miliar tujuh ratus delapan puluh juta rupiah. Pabrikan lokal (dan pribadi), 9.276 ton = 9.276.000 kg x 60.000 = Rp556.560.000.000 yakni lima ratus lima puluh enam miliar lima ratus enam puluh juta rupiah!
Lalu, adakah pabrik lokal atau perorangan yang punya uang sejumlah itu? Kok, saya yakin tidak ada! Separuh dari jumlah terakhir saja, saya belum yakin ada yang punya. Atau, pembaca yang budiman ada informasi kira-kira siapa di Madura ini yang punya uang atau kekayaan pribadi sebanyak itu dan siap nyemplung ke dunia bisnis tembakau? Kalau saling support modal, urunan-patungan, investasi, ngutang sana-sini, mungkin ada.
Etapi, di Madura bukannya ada konglomerat dan sultan-sultan itu, ya?
Emmm. Gak, ah. Setahu saya, sejauh yang saya tahu soal kelompok elit (meski bukan elit global), konglomerat dan sultan yang beneran itu tak pernah unjuk gigi (apalagi unjuk diri). Mereka, biasanya, kelompok sedikit manusia yang tak suka informasi dirinya diobral apalagi dibikin konten untuk mendapatkan cuan. Meski mereka bisa membeli apapun (secara materi), tapi mereka santai saja. Tentu saja, hidup mereka sudah sultan, tapi tak perlu disiarkan.
Pernah melihat orang terkaya di Indonesia (dari ranking 1 - 50) pamer-pamer kekayaan, beli ini-itu, flexing sana-sini, lalu menunjukkannya di medsos? Gak pernah! Kalau cerita-cerita sukses mereka, bertebaran memang, tapi sama sekali bukan gaya hidup dan "sultanisme"nya, apalagi adu kaya dan membanding-bandingkan yang dipunya dengan kelompok sekelas lainnya. Ya, gak?
Artinya, mereka yang suka menunjukkan apa yang dilakukan dengan hartanya di media sosial, masih membutuhkan exposure untuk menunjang pengakuan atas "kesultanannya", atau beli ini-itu, bagi-bagi ini-itu, sumbang sini-situ, lalu ditopang dengan sorot pemberitaan yang penuh glorifikasi, ya, levelnya masih belum konglomerat atau sultan beneran. Belum, percayalah.
Kembali ke laptop. Jadi, harga tembakau yang mahal itu adalah hasil kerjasama semua pihak. Petani berjuang, pengusaha dan pabrik menunjang, pemerintah menopang, lalu iklim dan cuaca juga ikut menyumbang. Semua itu ada dalam lingkaran ekosistem yang saling berkait-kelindan.
Petani akan rugi jika tak ada pabrikan yang beli, jika pun ada akan kembali murah andai cuacanya tidak mendukung. Pabrikan, mau sebanyak apapun cuannya, tak ada guna jika petani tak memproduksi. Petani dan pabrikan akan sama-sama nangis saat tidak didukung oleh regulasi dan tata-niaga yang adil.
Jadi, tak perlu meng-kooptasi peran masing-masing pihak dengan mengatakan bahwa kelompoknya (lebih-lebih dirinya) sebagai yang paling berjasa. Sudahlah Tuan, ini soal bisnis, kan. Hitung-hitungan Anda pastilah soal untung-rugi.
Terakhir, semoga harga tembakau pada musim ini akan terangkat kembali, kalau perlu menyentuh angka Rp100.000/kg atau lebih. Sekalian saja. Toh, negara juga mulai kacau dalam menghitung cukai rokok yang terus dinaikkan. Perokok, rokok, tembakau dan circle-nya "ditekan" secara psikologis melalui regulasi dan aturan, tapi di sisi lain berharap penerimaan cuan tinggi dari hasil cukai yang diembat.
Post a Comment