Siapa Pemilik Kekuasaan Itu?

Table of Contents

 

Ilustrasi: Ainul Yakin

Eddard Stark salah kalkulasi politik: mendukung Stannis penerus Robert, padahal ‘kuasa’ lebih besar menginginkan pangeran muda: Joffrey. Kesalahan itu membuat karir politik Eddard terhenti: ia dipenggal!

Jadi siapa pemilik kekuasaan itu?

*

Rontalin.com - King’s Landing, tempat kekuasaan bercokol sebagai penguasa absah tujuh kerajaan, memang bukan tempat yang baik untuk para politisi yang kurang ‘intrik’.

Politisi Winterfell itu diangkat sebagai Tangan Kanan Raja sebagai pengganti Jon Arryn. Namun sejak awal, ia terlalu keras dengan pikiran dan keyakinannya, sedikit ‘tegak lurus’, kurang sigap dengan permainan kuasa perebutan tahta (game of throne) di tempat itu.

Padahal Cersei Lannister – Ratu dari Raja Robert Baratheon – pernah mengingatkannya dengan nada seperti mengancam: “saat memainkan perebutan tahta, pilihannya adalah menang atau mati.”

Terlalu Tegak Lurus atau Salah Kalkulasi Politik?

Suatu hari, ia mengambil tindakan – yang dalam kacamata politik penuh intrik – bisa disebut terlalu berani, mendekati ceroboh, atau bolehlah dikata sedikit bodoh. Ia – dibimbing keyakinannya – menolak pangeran muda Joffrey Lannister sebagai penerus tahta kerajaan di King’s Landing. Sebaliknya, ia berpihak pada Stannis Baratheon. Keyakinan politiknya menegaskan bahwa yang sah sebagai penerus Robert Baratheon adalah sang adik, yakni Stannis. Joffrey bukan keturunan Robert. Ia keturunan Jaime Lannister - sebuah hubungan tabu yang sudah pasti dilakukan di belakang Robert.

Eddard memang punya perhitungan. Ia yakin keyakinannya yang ksatria nan sejati itu akan mendapatkan dukungan dari klan Baratheon dan majelis di sekelilingnya – yang dipikirnya - diisi oleh orang-orang yang waras akal, mampu melihat kebenaran, dan tegak lurus dengan kebenaran itu.

Sayangnya tidak! Terlebih lagi kalkulasi politiknya gagal membaca dengan akurat tentang siapa pemilik kuasa – yang benar-benar punya ‘kuasa’ – di King’s Landing? Kepada 'kuasa' siapa orang-orang di sekelilingnya tunduk?

Alhasil, politik selamanya bak labirin, penuh drama, diliputi permainan teka-teki: tak pernah jelas siapa yang akhirnya benar-benar berdiri di pihaknya, di sisi keyakinannya. Juga tak pernah jelas siapa yang berdiri di seberangnya sebagai lawan.

Teka-teki itu membawanya pada sebuah plot twist yang tak terduga. Ternyata ia hanya sendirian bersama keyakinan politiknya di tengah-tengah King’s Landing yang penuh intrik politik itu. Baik tegak lurusnya pada kebenaran maupun kalkulasi politiknya tak punya arti. Saat menyadari itu, segalanya sudah terlalu terlambat. Sebuah kuasa sudah menjungkalkannya dan menjatuhkan sebuah hukuman untuknya: ia diseret ke penjara.

Nama besar dan kebanggaannya sebagai seorang ‘Tangan Kanan Raja’ tertinggal. Kini ia tak lebih dari seorang ‘pengkhianat raja’ yang pesakitan. Hanya menunggu waktu hingga akhirnya sang pangeran Joffrey Baratheon atau Joffrey Lannister yang masih bau kencur dalam politik menjatuhkan hukuman politik yang kontroversial. 

Di undakan Kuil Baelor, kepala sang politisi yang ‘tegak lurus’ itu dipisahkan secara paksa dari raganya.

Peristiwa itu mengagetkan. Ada yang bilang, itu ‘keterlaluan’, tindakan konyol dari seorang raja bocah. Bahkan Lord Tywin Lannister, jauh di medan perang, mempertanyakan siapa di sekelilingnya yang membisiki raja bocah itu sehingga melakukan tindakan konyol itu?

Teka-teki Kekuasaan

Pasca insiden itu, Lord Varys – seorang mata-mata kerajaan, disebut juga ‘laba-laba’, seorang Kasim yang dikebiri – membuat sebuah teka-teki tentang apa itu kekuasaan, untuk dijawab oleh si cebol Tryon Lannister – yang juga dikenal dengan sebutan si setan kecil.

Ada tiga orang hebat, demikian Varys memulai teka-teki itu.

Mereka adalah raja, pendeta, dan orang kaya. Ketiganya memberikan perintah kepada seorang prajurit bayaran untuk membunuh dua di antara ketiga orang hebat tersebut. Lalu perintah siapakah yang kira-kira akan dipatuhi oleh si jago pedang itu?

Si setan kecil menjawab: tergantung kehendak si jago itu untuk memutuskan siapa yang akan ditebas. Tapi Varys menyanggah: si jago itu tak punya mahkota (bukan raja), tak punya emas (bukan orang kaya), dan tak punya restu dewa (bukan pendeta) untuk memerintahkan dirinya. Dia bukan siapa-siapa.

Tapi dia (si jago itu) punya pedang, dan itu menentukan hidup mati seseorang, Tryon masih kokoh dengan jawabannya.

Kalau begitu, mengapa kita seakan berpura-pura bahwa yang punya ‘kekuasaan’ itu raja, pancing Varys. Padahal yang punya baja (pedang) prajurit itu? Atau mengapa sang prajurit itu mau menuruti titah raja muda Joffrey untuk memenggal Lord Eddard Stark?

Tryon berdalih: karena raja cilik itu (raja muda Joffrey) atau raja tolol pemabuk itu (Robert Baratheon) bisa memanggil pemanggul pedang lainnya. Varys mendebatnya lagi: lalu apakah itu berarti pemilik pedang lainnya inilah yang sebenarnya punya kuasa? Dari mana datangnya pedang? Mengapa mereka patuh?

Apa itu kuasa, dan siapa pemiliknya?

Varys melanjutkan, dan kini agak lebih panjang seperti ceramah politik para akademisi: ada yang bilang pengetahuan adalah kekuasaan. Yang lain mengatakan kekuasaan berasal dari dewa. Yang lain lagi bilang kekuasaan berasal dari hukum.

Tapi kuliah politik itu segera dihantamkannya dengan kenyataan lain, pada suatu peristiwa di undakan Kuil Baelor, di mana Septon Agung yang soleh dan Ratu Pemangku Kekuasaan yang sah menurut hukum, serta orang-orang yang punya pengetahuan, ternyata sama tak berdayanya dengan tukang sepatu atau masyarakat biasa pada umumnya.

Lalu ‘kuasa’ siapa yang sesungguhnya menggerakkan untuk membunuh Eddard Stark? Raja Joffrey yang memberi perintah atau Ser Illyn Payne yang memenggal? Atau ada kuasa lain?

Tak ada jawaban yang benar-benar memuaskan keduanya. Varys pun membuatnya sederhana: begini saja, kekuasaan itu berada di tempat yang diyakini orang sebagai tempatnya.

Jadi, kekuasaan itu hanya omong-kosong, kah? Tanya Tryon yang sudah malas berteka-teki tanpa jawaban yang jelas. Kekuasaan hanya bayangan di dinding, balas Varys dan ia melanjutkan dengan mantap, namun bayangan yang dapat membunuh.

Adu (Klaim) Kuasa

Di utara, raja-raja menobatkan Robb Stark yang masih muda sebagai penguasa baru di wilayah utara. Dan kuasa itu klaim sepihak yang sudah pasti ditolak oleh penguasa King’s Landing yang baru menobatkan raja muda penerus Robert Baratheon yang mangkat: Joffrey Lannister.

Di seberang laut sempit, di Dragonstone – tempat bekas kekuasaan klan Targaryan, Stannis Baratheon – adik dari Robert Baratheon – mengklaim sebagai pemilik sah penguasa tujuh kerajaan, penerus sah dari Robert Baratheon. Di tempat lain, Renly Baratheon juga telah mengumpulkan pasukan di wilayah Highgarden dan juga menganggap dirinya layak sebagai penguasa (raja) King’s Landing.

Di tempat lain lagi, sisa keturunan Targaryen yang ditumbangkan oleh gabungan raja Robert Baratheon tengah menunjukkan potensi kebangkitan dengan hadirnya sosok Daenerys Targaryen beserta naga-naganya. Sebagai keturunan Targaryen, ia pun punya hak untuk mengklaim dirinya sebagai penguasa sah di King’s Landing.

Klaim-klaim sebagai penguasa itu membuat mereka tak bisa menyatu, satu sama lain berebut dukungan, meyakinkan diri sebagai raja paling absah, dan hanya menunggu momen yang pas, bom waktu: satu sama lain akan saling menyerang, saling menghantam demi memperebutkan apa yang disebut sebagai ‘tahta’, yang dari kedudukan itu, seseorang dapat melambaikan tangan atau menggerakkan mata sebagai isyarat perintah kepada yang lainnya.

Mungkin dari tahta itukah, kekuasaan itu berasal?


Post a Comment